Dingin menusuk tulang. Itu pagi pertama di Undaan. Badan pun masih pegal efek macet paska peresmian jalan tol lintas Semarang. Perjalanan dari Kota Tangerang yang harusnya sampai pukul 20.00 WIB, molor menjadi 22.30 WIB. Bus yang kutumpangi hanya berhenti sekali di Kedung Roso, Brebes. Setelah itu bus langsung tancap ke Tegal. Praktis sepuluh jam tanpa henti. Perut lapar dan mata mengantuk. Sampai rumah, aku langsung tidur.
Adaptasi di desa yang baru. Nama
desanya Undaan Kidul. Mayoritas bermata pencaharian petani. Bahkan di belakang
rumah padi menghijau memanjakan mata. Desa sepi. Semua penduduk sudah terlena
dalam mimpi.
Sawah ibu mertua memang pas di
belakang rumah. Begitu buka jendela dapur yang belum jadi, padi yang sedang
tumbuh terlihat jelas. Pohon pisang berdiri di sepanjang jalan menuju sawah.
Kebanyakan pisang kapok yang harganya mahal.
Ada rasa kangen dengan suasana kota.
Terutama hiruk pikuknya. Di desa waktu serasa berhenti. Perjalanannya begitu
melambat. Bila di Kota Tangerang, bangun pagi langsung bersiap ke kantor,
menyiapkan sarapan, mandi, dandan, dan berjalan ke kantor.
Di desa aku menikmati ketenangan.
Tidak ada hiruk pikuk atau suara pedagang menjajakan dagangan. Pagiku berubah.
Selesai salat Subuh, aku bisa tidur lagi. Namun, itu tidak kulakukan. Kebiasaan
sejak kecil yang terbangun pukul 03.00 WIB, membuat mataku tetap melek. Hanya
pagi pertama, aku masih tiduran di atas kasur. Rasanya enggan bangun.
Suara bising kendaraan semalam masih terngiang
di telinga. Demi taat kepada suami, kutinggalkan Kota Tangerang dengan semua
kenangan yang pernah ada.
Enaknya hidup di desa, air tidak beli. Semua
pakai air sumur. Biasa menghemat air, di rumah kontrakan, kini aku menikmati
air yang melimpah, bersih, dan gratis. Aku tidak perlu begadang menunggu air. Selama
empat bulan di rumah kontrakan, bisa dipastikan aku dan suami hidup hemat air.
Apalagi air kadang hidup, kadang mati. Jadilah kami membeli bak penampungan air
untuk memenuhi kebutuhan mandi dan cuci baju. Untuk minum, ya beli air galon
bermerek.
Desaku sekarang bebas polusi. Apalagi suami
sudah lama tidak merokok. Udara yang kuhirup sangat segar dan menyehatkan.
Cocok untuk terapi hidup sehat. Pepohonan rindang, sungai jernih, rumput yang
menghijau, dan tegur sapa masyarakat desa. Damai rasanya.
#ODOP #estrilook #day2
Sawah hijau itu selalu dirindukan sama ms Juli dan selamanya takkan pernah bosan
BalasHapusbetul mbak. pokoknya bangun tidur langsung disambut sawah di belakang rumah
HapusIni di mana sih mba? Btw, mba Fu selamanya pindah ke sana? Nanti kalau ada tawaran bedah buku lagi di Jakarta, aku sama siapaaaa? Heuheuuu...
BalasHapusdi Undaan Kidul, Kudus, kampung suamiku. Ceritanya per Januari ini sudah jadi warga di sana. Nanti kalau bedah buku, bisa kok datang. syarat dan ketentuan berlaku
Hapusmemang sih desa itu identik dengan udara segaar. duh jadi kangen pulang kampung hehe
BalasHapusdi sini segar banget. nggak ada polusi. badan jadi sehat.
Hapusmbak, kampungnya di mana?
Waah masyaAllah enak rasanya yah ke desa yang suasananya adem gitu.. rumah bapak digarut tapi dikotanya jadi bising juga.. mama disurabaya juga sama..Bandung sekarang udah panas juga..sawah-sawah habis sama perumahan..hujan sebentar banjir.. nikmatnya mba..alhamdulillah yah selamat mengeksplore desa
BalasHapusjadi blogger ndeso mbak. membangun dari desa. alhamdulillah kampung suami sekitarnya banyak sawah. kapan kapan kuulas khusus tentang sawah. pokoknya khas desa semua blogku sebulan ini.
HapusSubhanallah terbayang ademnya suasana di desa. Bebas polusi dan mudah mendapatkan air. Suasana yang paling dicari oleh masyarakat perkotaan.
BalasHapusTapi memang mungkin jadi gak bisa sering-sering jalan-jalan ke mall, ya, Mbak hihihi
Kalau mal harus ke kota. Ada, tapi jauh. Sudah hampir setahun jarang ke mal. Terakhir bulan Desember kemarin pas masih di Kota Tangerang. Sekarang jadi blogger ndeso. Menikmati hari-hari adem di desa. Air juga melimpah ruah di sini. Ayo main ke sini!
HapusMasya Allah, suasana desa yang adem tentram bikin betah, ya mba? Meski (mungkin) sebagai mantan warga kota, di awal-awal kepindahan ada aja hal yang membuat sulit beradaptasi. *Eh, tapi itu saya aja kali, ya? Mba Fuat mah, gak. Hehehe.
BalasHapusDi awal keputusan pindah yang berat. pada dasarnya aku kan orang desa. Merantau kemarin juga pilihan hidup. Sekarang harus mengikuti suami hidup di desa. Semoga tidak suntuk dan cepat adaptasi. amin
HapusWah adem lihatnya dan pasti segar udaranya...Selamat menikmati suasana desa yang pasti ada lebih kurangnya dibandingkan dnegan di kota. Tapi percaya dimanapun kita berada bila bersama yang tercinta semua akan indah rasanya. Semnagat ya MBak :)
BalasHapusbetul mbak. semua akan indah rasanya bila bersama keluarga tercinta. yang jelas masih bisa menuangkan tulisan di blog. Kalaupun terkendala sinyal, itu biasa, Thanks supportnya!
HapusMasya Allah, seneng banget liat pemandangan hijau seperti itu. Insya Allah betah ya mba 😊
BalasHapusAmin. Terima kasih dukungannya. Tahun baru, rumah baru, desa baru. semua serba baru. semangat baru tentunya.
HapusIni kayak di kampungku, Mbak. Rasanya di sana tuh waktu berjalan sangat lambat. Ayem, damai,melenakan. Dan karena alasan terakhir itulah aku merasa gak cocok di desaku. Khawatir terlena, hehe
BalasHapusAwalnya iya mbak terlena. Aku sempat menikmati seminggu pertama. Sekarang sudah mulai lagi. Rajin nulis di blog dan nerusin buku yang sempat mangkrak.
HapusEnak kali ya tinggal di desa, ngebayanginnya sih. Tapi kalo pas mudik tinggal di tempat suami, rasanya kok susah akses ke mana-mana yaa. Biasa mobile jadi berasa mandek.
BalasHapusiya mbak. di sini kalau tidak punya kendaraan pribadi, benar-benar bingung. Akses ke mana-mana susah. Jalan kaki lumayan jauh. Tetapi dinikmati saja. Pelanpelan ketemu ritmenya.
Hapusiya mbak. di sini kalau tidak punya kendaraan pribadi, benar-benar bingung. Akses ke mana-mana susah. Jalan kaki lumayan jauh. Tetapi dinikmati saja. Pelanpelan ketemu ritmenya.
HapusEnaknya, suasana desa... Selalu kangen nuansa seperti ink ya mbak. Tenang dan jauh dari hiruk pikuk...
BalasHapussuasana desa memang bikin kangen. ini belum kueksplor semua. Masih yang sekitar rumah. Belum ke mana-mana.
Hapussuasana desa memang bikin kangen. ini belum kueksplor semua. Masih yang sekitar rumah. Belum ke mana-mana.
HapusKangen juga deh sama suasana desa. Untung masih ada rumah nenek yang berlokasi di desa yang asri, dan itu selalu bikin adem dan tenang.
BalasHapussuasana desa memang bikin kangen, Dulu nikmatin pas mudik saja. Sekarang bisa setiap hari.
Hapussuasana desa memang bikin kangen, Dulu nikmatin pas mudik saja. Sekarang bisa setiap hari.
Hapusberarti sekarang mbak Fu tinggal di semarang, gak di tangerang lagi, yaa???
BalasHapusdi desa enak, mbak. sejuk, waktu seakan berjalan lambat, makanan dan jajanan murah meriah, air melimpah, banyak deh enaknya. hehehe
tapi yaa semua ada plus minusnya sih.
iya mbak. jadi warga Kudus. Ini juga sudah win win solution. Dan akhirnya mbali wae ning ndeso. Jadi orang desa.
HapusMak Ita jadi wong Semarang saiki? Aiih penak mak, balek ndeso ari tentrem rahayu hehehe.. emang butuh adaptasi tapi semoga cepet dan bisa on track lagi yaaa. Abis ini semoga dapet momongan yang sholeh/sholehah. Amiin
BalasHapusDadi wong Kudus, mbok Bety. Amin. matur nuwun dongane. Iyo mbok ben cepet dapat momongan yang sholeh dan sholehah. Hawa desa bisa menghilangkan stres. Adem ayem di sini.
HapusSaya senang hidup di desa. Meskipun kadang pengen balik ke kota karena di desa kurang bisa mengembangkan ekonomi lebih lagi. Haha... Tapi udah keenakan banget di desa. Serba murah dan gak terlalu rame
BalasHapusHamparan sawah di mana-mana ya, mbak? Tentram, sejuk dan damai.😊
BalasHapusIbu mertua pasti senang putra tercintanya menemani beliau bersama istri yg disayanginya di sisa umur beliau.😙
Wah seger banget ya mbak, udara pedesaan, semoga betah ya mbak didesa, menikmati indahnya alam hijau yang menyehatkan paru paru dan mata
BalasHapusMb Fu baca artikel kok kyk asri bnget ya kampungnya. Duh dr Jakarta ke Kudus? Pindahan wahh pasti suasananya beda bnget, moga betah dan lncar segalanya...Aamiin
BalasHapus