Aku
dan Jilbab dari Ibu
Ibu
sudah lama berpulang. Ini tahun keduabelas tanpanya. Ketidakhadiran Beliau di
sisiku, membuatku selalu dirundung rindu. Bila kupandang foto ibu, perlahan air
bening mengalir di kedua mataku. Kenangan bersamanya membayang di angan.
Kebersamaan singkat yang akan selalu terukir di istana kenangan.
Aku
masih ingat kebiasaan Ibu setiap pergi ke luar kota. Entah itu menemani nenek,
kakek, atau mengunjungi saudara. Ketika pulang ke rumah, Ibu selalu membawa
oleh-oleh. Aku selalu menanti buah tangan dari Ibu. Apap pun yang Ibu bawa, aku
suka.
Kemiskinan
dan keterbatasan uang membuat Ibu tidak punya pilihan lain. Oleh-oleh Ibu
terkadang hanya berupa makanan ringan seplastik kecil, tetapi kuterima dengan
gembira.Kupeluk Ibu dengan suka cita. Setelah sekian hari berpisah, aku pun
melepas bisa melepas kangen dengan Ibu.
Ibu
bagiku adalah sosok istimewa. Di tengah keterbatasan yang Beliau miliki, aku,
kakak, dan adik tetap menjadi fokus
utama. Kala itu aku sudah memakai jilbab, karena aku sekolah di pondok
pesantren Ali Maksum Krapyak Yogyakarta. Setiap hari kupakai jilbab untuk
aktivitas di luar komplek N(asrama yang kutinggali). Ibu hanya menjenguk
sebulan sekali. Beliau mengantar uang bulanan untuk bayaran sekolah dan pondok.
Aku
masih ingat Ibu baru saja pulang mengikuti Ziarah Wali Sanga di Jawa Timur. Aku
yang masih sekolah di pondok tidak bisa ikut. Ketika pulang dari ziarah, Ibu langsung
datang ke pondok. Beliau membawa jilbab biru, warna kesukaanku. Aku sangat
senang dengan pemberiannya. Aku seperti mendapat durian runtuh. Saat itu jilbab
adalah barang mewah, karena untuk membelinya aku membutuhkan waktu untuk
menabung.
Jilbab
dari Ibu selalu kupakai. Aku sering menciuminya. Kurasakan bau Ibu menguar di
jilbab. Bila kupegang jilbab itu, kulihat usaha Ibu untuk membelinya. Ibu pasti puasa dan menahan hasrat
belanjanya. Selain jilbab seragam sekolah, aku tidak punya jilbab lain. Untuk
bergaya terkadang aku pinjam jilbab milik teman.
Jilbab
pemberian Ibu memang sudah pudar warnanya, karena dimakan usia. Perjuangan Ibu
pun membayang. Ibu begitu bahagia ketika bisa membelikan jilbab untukku. Senyum
Ibu masih terlihat di mataku. Aku tidak pernah melihat Ibu sebahagia itu.
Ibu
selalu mendukung prosesku berjilbab. Beliau tetap mendukung dan mendampingiku
hingga aku lulus dari pondok pesantren. Saat ini aku masih memakai jilbab dan
tidak ada niat untuk melepaskannya. Jilbab dari Ibu pun terkadang masih
kupakai, ketika rindu sangat menggelora di
dada.
Dari
Ibu aku belajar banyak, termasuk ketika aku harus mempertahankan jilbab di
dunia kerja. Berkali-kali aku gagal mendapatkan pekerjaan karena jilbab yang
kupakai. Ketika kusampaikan kepada Ibu, Beliau menghibur, menyemangati, dan
mendoakanku. Ibu tetap yakin dengan doanya kalau aku akan mendapatkan pekerjaan
tanpa melepas jilbab.
Doa
Ibu terjawab, ketika aku mendapatkan pekerjaan di kota Tangerang.
Alhamdulillah, tanpa melepas jilbab, aku bisa bekerja dan berkarya. Terimakasih
Ibu, karena doa dan dukungannya, aku bisa menjadi seperti sekarang.
Karawaci,
04 Januari 2018.
#saliah#karenaibu#Kompetisiblogsaliha
Foto lamaku bersama Ibu dan teman-temanku. Ini saat Ibu masih hidup. Tahunnya lupa.
0 komentar:
Posting Komentar