Kamis, 04 Januari 2018

Aku dan Jilbab Pemberian Ibu

Aku dan Jilbab dari Ibu
Ibu sudah lama berpulang. Ini tahun keduabelas tanpanya. Ketidakhadiran Beliau di sisiku, membuatku selalu dirundung rindu. Bila kupandang foto ibu, perlahan air bening mengalir di kedua mataku. Kenangan bersamanya membayang di angan. Kebersamaan singkat yang akan selalu terukir di istana kenangan.
Aku masih ingat kebiasaan Ibu setiap pergi ke luar kota. Entah itu menemani nenek, kakek, atau mengunjungi saudara. Ketika pulang ke rumah, Ibu selalu membawa oleh-oleh. Aku selalu menanti buah tangan dari Ibu. Apap pun yang Ibu bawa, aku suka.
Kemiskinan dan keterbatasan uang membuat Ibu tidak punya pilihan lain. Oleh-oleh Ibu terkadang hanya berupa makanan ringan seplastik kecil, tetapi kuterima dengan gembira.Kupeluk Ibu dengan suka cita. Setelah sekian hari berpisah, aku pun melepas bisa melepas kangen dengan Ibu.
Ibu bagiku adalah sosok istimewa. Di tengah keterbatasan yang Beliau miliki, aku, kakak, dan adik  tetap menjadi fokus utama. Kala itu aku sudah memakai jilbab, karena aku sekolah di pondok pesantren Ali Maksum Krapyak Yogyakarta. Setiap hari kupakai jilbab untuk aktivitas di luar komplek N(asrama yang kutinggali). Ibu hanya menjenguk sebulan sekali. Beliau mengantar uang bulanan untuk bayaran sekolah dan pondok.
Aku masih ingat Ibu baru saja pulang mengikuti Ziarah Wali Sanga di Jawa Timur. Aku yang masih sekolah di pondok tidak bisa ikut. Ketika pulang dari ziarah, Ibu langsung datang ke pondok. Beliau membawa jilbab biru, warna kesukaanku. Aku sangat senang dengan pemberiannya. Aku seperti mendapat durian runtuh. Saat itu jilbab adalah barang mewah, karena untuk membelinya aku membutuhkan waktu untuk menabung.
Jilbab dari Ibu selalu kupakai. Aku sering menciuminya. Kurasakan bau Ibu menguar di jilbab. Bila kupegang jilbab itu, kulihat usaha Ibu untuk membelinya.  Ibu pasti puasa dan menahan hasrat belanjanya. Selain jilbab seragam sekolah, aku tidak punya jilbab lain. Untuk bergaya terkadang aku pinjam jilbab milik teman.
Jilbab pemberian Ibu memang sudah pudar warnanya, karena dimakan usia. Perjuangan Ibu pun membayang. Ibu begitu bahagia ketika bisa membelikan jilbab untukku. Senyum Ibu masih terlihat di mataku. Aku tidak pernah melihat Ibu sebahagia itu.
Ibu selalu mendukung prosesku berjilbab. Beliau tetap mendukung dan mendampingiku hingga aku lulus dari pondok pesantren. Saat ini aku masih memakai jilbab dan tidak ada niat untuk melepaskannya. Jilbab dari Ibu pun terkadang masih kupakai, ketika rindu sangat menggelora  di dada.
Dari Ibu aku belajar banyak, termasuk ketika aku harus mempertahankan jilbab di dunia kerja. Berkali-kali aku gagal mendapatkan pekerjaan karena jilbab yang kupakai. Ketika kusampaikan kepada Ibu, Beliau menghibur, menyemangati, dan mendoakanku. Ibu tetap yakin dengan doanya kalau aku akan mendapatkan pekerjaan tanpa melepas jilbab.
Doa Ibu terjawab, ketika aku mendapatkan pekerjaan di kota Tangerang. Alhamdulillah, tanpa melepas jilbab, aku bisa bekerja dan berkarya. Terimakasih Ibu, karena doa dan dukungannya, aku bisa menjadi seperti sekarang.
Karawaci, 04 Januari 2018.


 #saliah#karenaibu#Kompetisiblogsaliha
Foto lamaku bersama Ibu dan teman-temanku. Ini saat Ibu masih hidup. Tahunnya lupa. 

0 komentar:

Posting Komentar